Kilasmalut.com – Suasana Halmahera Utara (Halut) memanas. Sejumlah organisasi keagamaan terbesar di Halut mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Korps Alumni HMI (KAHMI), hingga Alkhairat, secara resmi mendatangi Mapolres Halut, Rabu (17/9).
Kedatangan mereka bukan tanpa sebab. Para tokoh agama bersama masyarakat menuntut keadilan atas dugaan penistaan agama yang dilakukan oknum anggota Polres Halut berinisial HL, setelah unggahannya di akun Facebook resmi dianggap melecehkan Nabi Muhammad SAW dan Islam.
Unggahan itu kontan memicu gelombang kemarahan. Para tokoh agama menilai tindakan HL bukan hanya penghinaan pribadi, melainkan serangan terbuka terhadap akidah umat Islam.
Ketua MUI Halut, Husain Horu, menegaskan kasus ini sudah menjadi keresahan besar yang tidak bisa dianggap enteng.
“Kami datang untuk melaporkan secara resmi akun Facebook HL yang jelas-jelas diduga melakukan penistaan agama. Kasus ini harus diproses transparan dan tegas, agar keresahan umat Islam tidak semakin meluas,”tegas Husain.
Nada serupa datang dari Ketua KAHMI Halut, Rahman Saha, yang bahkan menyebut umat Islam di Halut merasa “ditelanjangi” akibat postingan tersebut.
“Oknum polisi itu menghilangkan penggalan ayat Al-Qur’an, sehingga terkesan Nabi Muhammad dianggap gila. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi penghinaan terang-terangan. Lebih parah lagi, pelakunya bukan masyarakat biasa, melainkan aparat penegak hukum,”kecam Rahman.
Ia menegaskan tindakan HL telah mencoreng kerukunan antarumat beragama yang selama ini dijaga di Halut.”Satu orang oknum polisi bisa merusak tatanan yang kita rawat bertahun-tahun,”pungkasnya.
Kapolres Halut, AKBP Erlichson Pasaribu, akhirnya angkat bicara. Ia menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh umat Islam di Halut dan Indonesia, sembari memastikan bahwa kasus ini tidak akan ditutup-tutupi.
“Oknum itu dari Satlantas, bukan driver saya. Video tersebut sebenarnya bukan dia yang buat, tapi dia membagikan ulang. Meski begitu, tindakannya salah besar. Kami akan proses etik dengan ancaman paling berat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH),”tegas Erlichson.
Kapolres menambahkan, untuk proses pidana pihaknya menunggu laporan resmi dari masyarakat karena kasus ini termasuk delik aduan. Namun ia memastikan jalannya sidang kode etik akan transparan dan bisa disaksikan publik.
“Perbuatannya tidak bisa ditoleransi. Polisi seharusnya memberi contoh baik, bukan justru memicu kegaduhan dan mencederai agama,”ujarnya.
Meski permintaan maaf disampaikan, gelombang tuntutan dari organisasi Islam masih bergulir. Mereka mendesak agar proses hukum tidak berhenti di meja etik, melainkan dilanjutkan ke ranah pidana untuk memberikan efek jera.
Bagi umat Islam Halut, kasus ini bukan sekadar pelanggaran disiplin seorang polisi, melainkan bentuk penghinaan terhadap keyakinan yang bisa mengguncang harmoni sosial. Jika tidak ditangani serius, bukan tidak mungkin kasus ini akan memicu gejolak lebih besar di masyarakat.(red)