Kilasmalut.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dikelola oleh Badan Gizi Nasional (BGN) melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPP), bekerja sama dengan Yayasan Maria Van Deyken Soentpiet, kembali menjadi sorotan. Hal ini menyusul temuan ulat dalam makanan yang dibagikan kepada siswa SD Negeri 1 Halmahera Utara (Halut).
Ironisnya, makanan yang telah tercemar tersebut sempat dikonsumsi oleh beberapa siswa hingga menyebabkan mual. Kepala SD Negeri 1 Halut, Hj. Hartini Hi. Ahmad, membenarkan temuan itu saat dikonfirmasi wartawan pada Rabu (30/7).
“Iya, tadi beberapa guru menemukan ulat di dalam makanan yang dibagikan. Padahal beberapa siswa sudah sempat mengonsumsinya,”ujarnya.
Hartini mengungkapkan, kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi. Bahkan sebelumnya, pihak sekolah juga menerima makanan, buah, dan lauk yang sudah dalam kondisi basi.
“Kami sudah beberapa kali menegur petugas pengantar makanan, tapi teguran kami tidak pernah diindahkan. Hari ini kejadian itu terulang lagi,”katanya.
Pihak sekolah berharap agar penyedia makanan MBG lebih memperhatikan kebersihan dan higienitas makanan.
“Harapan kami ke depan, program MBG ini benar-benar steril agar kejadian yang tidak kita inginkan tidak terulang,”harapnya.
Terpisah, perwakilan dari BGN-PPG, Hizkia J.S., menjelaskan bahwa setelah menerima laporan dan video dari pihak sekolah, makanan yang telah didistribusikan langsung ditarik kembali. Namun, ia mengakui bahwa beberapa siswa sempat mengonsumsi makanan tersebut.
“Setelah kami mendapatkan informasi dan video, semua makanan langsung kami tarik. Untuk sekolah-sekolah yang masuk siang, hari ini kami tidak distribusikan makanan,”jelasnya.
Terkait keberadaan ulat dalam makanan, Hizkia menduga itu berasal dari wadah makan (ompreng) yang tidak dibersihkan dengan baik, bukan dari makanan itu sendiri.
“Dari bentuknya, ulat itu lebih mungkin berasal dari sisa makanan yang menempel di ompreng. Kalau dari makanan, bentuk ulatnya berbeda. Namun video tersebut belum kami serahkan ke Dinas Kesehatan untuk diteliti lebih lanjut,”katanya.
Ia mengakui adanya kelalaian dalam proses pencucian ompreng, terutama karena pengawasan yang kurang ketat di bagian dapur.
“Ompreng harus dicuci dengan benar: sisa makanan dibuang, dicuci dengan air bersih, dibersihkan ulang, lalu dicuci lagi dengan air panas mendidih. Itu prosedurnya,”terangnya.
Hizkia menambahkan, setelah dilakukan pengecekan pada sisa makanan dan sayur di dapur, tidak ditemukan adanya ulat.
“Jadi kemungkinan besar ulat itu muncul dari ompreng yang tidak bersih, bukan dari makanannya. Makanan yang kami siapkan tetap steril,”tegasnya.
Ke depan, pihaknya akan memperketat pengawasan di dapur, baik dalam proses pengolahan makanan maupun pencucian peralatan makan.
“Walaupun jumlah makanan yang kami siapkan cukup banyak sekitar 3.000 paket per hari kami akan tingkatkan pengawasan agar kejadian seperti ini tidak terulang,” pungkasnya.(red)